Peran Kesultanan Banten Dalam Jalur Rempah

Letak Banten yang berada di jalur perdagangan Internasional diduga sudah memiliki hubungan dengan dunia luar sejak abad pertama Masehi. Kemungkinan, pada abad ke 7 Banten sudah menjadi pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para saudagar dari luar. Banten sebelum menjadi kerajaan yang bercorak Islam merupakan sebuah kerajaan yang bercorak Hindu, sebagai wilayah di bawah naungan kerajaan Sunda Pajajaran, perpindahan corak kepercayaan ini ditandai dengan berpindahnya pusat pemerintahan dari pedalaman (Girang) ke surosowan (Pesisir). Faktor geografi, ekonomi, dan politik sangat berperan dalam pemindahan atau pembangunan keraton. Dalam usaha membangun sebuah pemerintahan yang baru keberadaan pasar sangat penting dalam menunjang perkembangan ekonomi sebuah pemerintahan yang baru. Pasar Banten merupakan pusat perdagangan, baik internasional maupun lokal. Pasar Banten pada saat itu berperan sebagai pusat pertukaran dan pertemuan para saudagar terkemuka. Keberadaan pasar Banten pada saat itu menjadi salah satu sumber penghasilan Sultan dan pemerintahan. Sultan Banten tidak hanya mendapat penghasilan dari pajak perdagangan tetapi juga ikut bermain mencari untung dalam pasar dengan usaha melalui berdagang.

Willem Lodewijcksz menggambarkan keramaian perdagangan di wilayah Kesultanan Banten. Bahwa dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Banten terdapat tiga pasar yang dibuka setiap harinya. Pasar yang pertama merupakan pasar yang terletak di Timur Kota Karangantu, pada pasar ini banyak ditemukan para pedagang-pedagang asing dari Portugis, Arab, Turki, China, India, Melayu, Banggala, Malabar, Abesinia dan Pedagang dari seluruh Nusantara. Pasar yang kedua ini terletak di Alun-alun yang keberadaannya dekat dengan wilayah Masjid Agung, di pasar kedua ini banyak jenis barang yang diperdagangkan seperti lada, kayu cendana, buah buahan, senjata semacam keris, tombak, pisau, meriam kecil dan lainnya. Begitu luas wilayah dari pasar kedua ini sehingga ujung dari pasar kedua hampir menyambung dengan pasar pertama yang terletak di pelabuhan. sedangkan untuk pasar yang ketiga ini terletak di salah satu daerah pecinan yang mana pasar ketiga ini sedikit berbeda dalam segi waktu operasionalnya yang mana pada pasar ketiga ini para pedagang selalu buka hingga malam hari.

Kemajuan Kesultanan Banten pada saat itu tidak lepas dari keberadaan pelabuhan-pelabuhan yang ada, salah satu pelabuhan yang menjadi penyokong kesuksesan kesultanan Banten dalam peredaran rempah-rempah adalah Pelabuhan Karangantu. Pelabuhan Karangantu merupakan pelabuhan terbesar kedua setelah pelabuhan Sunda Kelapa di Jayakarta. Hal ini tercatat dalam buku yang berjudul "Mengenal Peninggalan Sejarah dan Purbakala Kota Banten Lama". Peredaran rempah-rempah pada saat itu merupakan pemasukan yang cukup menjanjikan bagi pemerintah kesultanan Banten, salah satu jenis rempah yang menjadi komoditas utama kesultanan Banten adalah lada, lada Banten merupakan jenis rempah yang paling banyak diminati oleh Bangsa Asia dan Eropa karena dinilai memiliki kualitas yang sangat baik. Kesultanan Banten pada saat itu merupakan salah satu wilayah yang memegang peranan penting dalam perdagangan rempah-rempah di wilayah Asia, Eropa maupun Nusantara dengan komoditas lada nya yang melimpah. Di Asia Tenggara Banten merupakan pengekspor lada terbanyak kedua setelah Aceh. Banten pada abad ke-17 berkembang menjadi pelabuhan dagang dan mengekspor barang dagangan rempah-rempah, terutama lada.

Kesultanan Banten di era kepemimpinan Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin (1803-1808) pernah menghadiahkan 200 gahar lada kepada Herman Willem Daendels selaku Gubernur Hindia Belanda, pemberian lada oleh sultan Abu Nashar ini dilakukan sebagai tanda Diplomasi antara kesultanan Banten dengan Gubernur Hindia Belanda Herman Willem Daendels yang pada saat itu baru menjabat sebagai orang nomor satu di Hindia Belanda. Pemberian lada ini juga menandakan bahwa Kesultanan Banten pernah mempunyai hubungan baik  dengan pihak Hindia Belanda. Banten pada abad ke-17 berkembang menjadi pelabuhan dagang dan mengekspor barang dagangan berupa rempah-rempah, terutama lada. Persediaan lada pada mulanya masih dapat disuplai oleh wilayah-wilayah yang dikuasai Kesultanan Banten yang ada di wilayah Jawa bagian barat. Akan tetapi ketika tingkat perdagangan lada menjadi berkembang mengakibatkan pasaran lada di Banten menjadi melonjak akibat tingginya peminat dari penjualan lada, persediaan lada yang ada di Banten pada saat itu tidak dapat memenuhi permintaan dari Asia maupun Eropa. Akhirnya Kesultanan Banten menempuh jalan kekerasan dengan menguasai pusat penjualan lada di Palembang, Selebar, Bengkulu dan Lampung. (Schrieke 1955: 30,43)

Bahkan sebagai legitimasi dan legalitas untuk menguasai produk lada tersebut, beberapa sultan Banten mengeluarkan sebuah Prasasti. yang mana isi dari prasasti tersebut membahas mengenai perintah dari sultan akan penanaman dan jual beli lada, serta sanksi-sanksi pelanggaran pidana dan perdata pada rakyat dan penguasa di wilayah Sumatera, khususnya daerah Lampung dan Selchar Prasasti tersebut, umumnya berupa prasasti dari lempengan tembaga yang biasa disebut dengan dolung. Prasasti-Prasasti yang dikeluarkan Sultan Banten mulai dari Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672) hingga Sultan Zainul Asyikin (1753-1773). Prasasti-Prasasti tersebut ditulis dengan aksara Arab berbahasa Jawa Serang. Namun, ada juga yang ditulis dengan aksara Jawa. Salah satu prasasti yang dikeluarkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa bertarikh 1662 M. Sasaran dari dikeluarkannya prasasti tersebut antara lain adalah untuk mengatur penguasa dan rakyat Lampung, yang mana dalam isi prasasti tersebut menjelaskan bahwa semua peraturan Sultan Banten harus dipatuhi terutama dalam hal cukai dan lada. Sedangkan untuk salah satu prasasti yang dikeluarkan oleh Sultan Zainul Asyikin bertarikh 1771 M yang mana isi dalam prasasti tersebut menetapkan orang Lampung harus menanam lada sebanyak 1000 pohon setiap orang, hal ini bertujuan agar panen yang dihasilkan melimpah sehingga pemerintah tidak takut lagi akan kekurangan cadangan persediaan lada. Prasasti-Prasasti yang dikeluarkan oleh kesultanan Banten tersebut menandakan bagaimana peran besar Sultan-Sultan Banten dalam usahanya untuk menjadikan Banten sebagai wilayah produksi dan pengekspor lada terbesar untuk Eropa maupun Asia juga berkontribusi dalam usahanya membuka dan memperkenalkan jalur perdagangan bagi peredaran rempah-rempah di Asia dan Eropa.


Referensi: 

Sarjiyanto, S. (2008). Mencermati Kembali Komoditas Lada Masa Kesultanan Banten Abad Ke-16-19. AMERTA, 26(1), 58-73.

Hardiman, H. (2016). PERKEBUNAN LADA DI BANTEN TAHUN 1805-1816. Ilmu Sejarah-S1, 1(1).

Swantoro, Polycarpus. Perdagangan Lada Abad XVII. Kepustakaan Populer Gramedia, 2019.



Komentar